Kisah Sukses Petani Sawit : Dulu Bagai Bulan Kesiangan, Kini Bulanan Dapat Jutaan
Menjadi petani tidak lagi identik dengan kemiskinan. Apalagi menjadi petani sawit di Riau. Uang jutaan, kekayaan dan tentu saja kesejahteraan, sudah pasti dalam genggaman!
Laporan Zulmansyah, Riau
ADALAH Tumingan yang jadi bukti nyata.
Lelaki kurus tinggi legam berusia 54 tahun ini, sejak 1993 lalu memilih
menjadi petani sawit di Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) Mekar Sari
di Sungai Pagar, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Itu berarti
sudah hampir 20 tahun Tumingan bersama istrinya Nur, melakoni hidup
sebagai petani sawit.
Sebelum menjadi petani sawit, Tumingan
yang berasal dari Desa Jangkang, Kecamatan Bantan, Kabupaten Bengkalis
adalah buruh angkat pedagang antar-pulau. Hidupnya miskin, karena upah
yang diperolehnya paling banyak Rp10 ribu per hari. Upah itu, hanya
cukup untuk dua kali makan seorang bujangan.
Tumingan, selama dua tahun, juga pernah
mencoba menjadi petani kelapa di pedalaman Kabupaten Indragiri Hilir,
sekaligus bekerja sambilan di pabrik kopra kecil-kecilan atas ajakan
pamannya. Namun hasilnya tidak memadai dan hidupnya tetap saja dalam
belenggu kemiskinan dan penderitaan. ‘’Sebelum menjadi petani sawit,
hidup saya benar-benar bagai bulan kesiangan, selalu lesu, pucat tanpa
gairah. Sekarang, setelah menjadi petani sawit, bulanan selalu dapat
uang jutaan. Alhamdulillah…,’’ kata Tumingan sumringah.
Awal ikut TSM Mekar Sari di Kamparkiri,
Tumingan hanya dapat lahan garapan sekapling lahan sawit berukuran
18.000 M2 atau hampir 2 hektare. Tapi saat ini–setelah hampir 20 tahun–
lahan garapan sawit miliknya sudah 10 kapling atau sekitar 20 hektare
luasnya. ‘’Sudah cukup untuk saya, keluarga dan menyekolahkan anak-anak
sampai tamat perguruan tinggi,’’ kata Tumingan bangga, seraya menyebut
anak tertuanya sudah tamat FKIP Universitas Islam Riau dan yang nomor
dua saat ini di Fakultas Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN)
Sultan Syarif Qasim.
Cerita lelaki berputra empat ini, setiap
hektare kebun sawitnya bisa menghasilkan dua sampai tiga ton buah sawit
per panen, bergantung pupuk dan musim. Bila harga sawit sedang bagus
mencapai Rp1.400 per kilogram, maka dari setiap kapling lahan sawitnya,
Tumingan bisa memperoleh uang lebih Rp8 juta. ‘’Kalau 10 kapling ya bisa
hampir Rp100 juta. Tapi itukan pendapatan kotor, belum dikurangi biaya
pupuk, ongkos angkut dan lain-lain. Kalau harga sawit lagi bagus,
minimal Rp5 juta sampai Rp6 juta per kapling alhamdulillah dapat di bawa
pulang ke rumah,’’ ungkap Tumingan.
Dulunya, hasil berkebun sawit ditabung
Tumingan untuk membeli lahan, menambah dan memperluas areal garapan
kebun sawit miliknya. Tapi sekarang, hasil kebun sawit dibuat untuk
membangun rumah megah, membeli kenderaan bermotor dan menyekolahkan
anak-anaknya sampai tamat perguruan tinggi. ‘’Sebagian uang sawit masih
ada ditabung juga untuk bekal berangkat haji,’’ kata Tumingan, semangat.
Kisah sukses menjadi petani sawit, juga
diceritakan Sunarto, 52 tahun, perantau asal Jawa Tengah yang kini
bermukim dan berkebun sawit di Kerinci Kanan, Siak . Sunarto yang datang
ke Riau bersama sejumlah perantau asal Wonogiri, Boyolali dan Seragen,
pada awalnya mengikuti program transmigrasi di tahun 1994 dengan jatah
lahan garapan sawit 2 hektare dari pemerintah, ditambah lahan untuk
tanam palawija 0,5 hektare. ‘’Saya juga dijatahi Rp100 ribu per bulan
untuk biaya hidup,’’ kata Sunarto memulai kisah hidupnya di Riau sebagai
petani.
Karena niatnya merantau jauh
meninggalkan tanah Jawa harus sukses, maka Sunarto bersama istrinya
bersungguh-sungguh menjalani hidup sebagai petani sawit. Pahit getir
awal membuka lahan dijalani Sunarto dengan iklas dan tabah.
‘’Alhamdullillah, akhirnya saya sukses sekarang ini. Menjadi petani
sawit di Riau adalah pilihan yang tepat bagi saya dan istri,’’ kata
Sunarto mengenang.
Selama 18 tahun bersungguh-sungguh
menjadi petani sawit, lahan garapan Sunarto sudah tidak 2 hektare lagi,
melainkan telah bertambah luas menjadi 16 hektare. ‘’Sekarang,
penghasilan saya antara Rp30 juta sampai Rp40 juta per bulan. Bukan
Rp100 ribu lagi,’’ kata Sunarto mengenang.
Kisah petani sawit lainnya adalah kisah
pasangan Darimi (58)-Jaan (55), yang memang tidak seberuntung Tumingan
dan Sunarto. Darimi, perantau asal Lubuk Alung Sumatera Barat ini
bertani sawit di Dusun Bakal Desa Tualang Kecamatan Tualang Kabupaten
Siak. Sudah lima belas tahun lamanya mantan nelayan ini berkebun sawit.
Lahangarapannya pun cuma 3 hektare saja—dari dahulu sampai sekarang—
tetap 3 hektare saja. ‘’Waktu kami beli, masih semak belantara. Harganya
hanya Rp800 ribu per hektare,’’ jelas Jaan.
‘’Kebun kami, sekali panen, setiap 14
hari, dapat 2 ton. Sebulan dapatlah 4 ton. Tapi harga sekarang bulan
Oktober ini lagi jatuh, cuma Rp750 per kilogram sawit. Syukur masih bisa
dapat Rp3 juta per bulan,’’ tambah Jaan, akhir pekan lalu.
Ketika harga sawit bagus, jelas Jaan,
dirinya bersama suami bisa mendapatkan lebih Rp6 juta per bulan.
‘’Dengan uang jutaan begitu, tentu kami bisa menyekolahkan anak kami
sampai tamat universitas, sekaligus juga masih bisa ditabung,’’ ungkap
Jaan.
Diakui Jaan, tidak semua petani sawit di
Dusun Bakal bisa hidup sukses. Ada juga tetangganya yang gagal berkebun
sawit. Mereka yang gagal adalah petani yang kurang tangguh, kurang
gigih dan kurang bersungguh-sungguh. Ditambah pula lahan garapan mereka
kurang dari sehektare.
Camat Tualang Roni Rachmat SSTP
mengungkapkan, khusus di Dusun Bakal Tualang, tempat Darimi-Jaan
bermukim, terdapat 2.700 jiwa. ‘’Sebagian besar mereka memang petani
sawit. Sebagian lainnya bekerja di perusahaan perkebunan sawit,’’ ungkap
Roni, Kamis (25/10).
Menjadi petani sawit, dilakukan
masyarakat tempatan setelah melihat banyak perusahaan membuka lahan
perkebunan, juga karena banyaknya transmigrasi yang masuk berkebun
sawit. Warga tempatan Dusun Bakal dahulu banyak menjadi nelayan, hanya
sebagian kecil bertanam palawija. ‘’Sekarang, hampir semua kepala
keluarga di Dusun Bakal itu memiliki lahan perkebunan sawit. Pilihan
menjadi petani sawit tampaknya memang memberi kesejahteraan bagi mereka
saat ini,’’ kata Camat Tualang.
Success story petani sawit di Riau bukan
cuma cerita berlebih-lebihan dari para petani. Penelitian Prof Dr Ir
Sumardjo MS, Kepala CARE IPB dan Guru Besar IPB menyebutkan, tingkat
pendapatan petani sawit di Riau bisa mencapai Rp3,8 juta/ha/bulan,
bersih. Maka, setiap petani sawit di Riau yang memiliki lahan sekapling
saja atau hanya 2 hektare luasnya, pendapatannya bisa mencapai Rp7,2
juta/kapling/bulan.
Bahkan, petani sawit yang bercocok-tanam
di lahan rawa atau gambut pun, penghasilannya bisa mencapai Rp2,9
juta/ha/bulan, bersih. Pendapatan jutaan Rupiah seperti itu, jelas
Sumardjo yang juga Penyuluh Pertanian Nasional ini, menyebabkan tingkat
ekonomi petani sawit di Riau tinggi-tinggi.
Hasil penelitian Sumardjo juga
mengungkapkan, jumlah petani sawit di Riau mencapai 352.022 Kepala
Keluarga (KK), jauh lebih besar dari petani non-sawit yang hanya 271.259
KK. Begitu pun dengan luas areal lahan garapan perkebunan, totalnya
845.230,56 hektare, melebihi luas areal perkebunan sawit milik
perusahaan yang hanya 769.992,85 hektare (selengkapnya lihat tabel). Itu
berarti—bila dirata-rata—setiap KK petani sawit di Riau memiliki luas
lahan garapan hampir 2,5 hektare.
Menjadikan Petani Indonesia Sejahtera
Pada peringatan HUT RI tahun 1963, Presiden Soekarno dengan lantang menyampaikan pidato bertajuk ‘’Jalannya Revolusi Kita (Jarek): Tanah untuk Tani!’’ Karena negeri ini bertanah subur, Presiden Soekarno menyakini kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan dapat dicapai dengan pertanian, asal semua petani memiliki tanah garapan, bukan sebagai buruh tani!
Menjadikan Petani Indonesia Sejahtera
Pada peringatan HUT RI tahun 1963, Presiden Soekarno dengan lantang menyampaikan pidato bertajuk ‘’Jalannya Revolusi Kita (Jarek): Tanah untuk Tani!’’ Karena negeri ini bertanah subur, Presiden Soekarno menyakini kemakmuran dan kesejahteraan rakyat akan dapat dicapai dengan pertanian, asal semua petani memiliki tanah garapan, bukan sebagai buruh tani!
Keyakinan Presiden pertama RI itu—yang
diungkapkannya lebih setengah abad lalu—masih relevan dengan keadaan
saat ini. Menjadi petani, asal memiliki tanah garapan yang cukup, bisa
hidup sejahtera. Tumingan, Sunarto dan Darimi, adalah contoh
petani-petani di Riau yang bisa hidup melepaskan diri dari kemiskinan,
bahkan kini bisa hidup sejahtera karena luasnya tanah garapan mereka.
Salah satu sukses dari Empat Sukses
Pembangunan Pertanian Indonesia adalah peningkatan kesejahteraan petani.
Salah satu solusi untuk peningkatan kesejahteraan petani itu adalah
dengan menyediakan lahan garapan yang cukup untuk petani. Solusi lainnya
adalah memberikan subsidi kepada petani, apakah itu subsidi bibit,
subsidi pupuk, bantuan peralatan pertanian dan sebagainya.
Untuk petani sawit di Riau, beberapa
kelompok tani pada awal pembukaan lahan garapannya juga mendapatkan
subsidi, seperti yang dialami Tumingan dan Sunarto. Sebagaimana
diungkapkan Ir H Muhibbul Basar MSi, Kepala Balai Benih Dinas Perkebunan
Riau, yang menyebutkan petani sawit di 10 kabupaten/kota di Riau
sebagian ada yang mendapatkan subsidi bibit unggul.
‘’Anggaran subsidi bibit sawit unggul
itu, ada yang dari APBD Riau dan ada juga dari APBN. Jumlahnya milyaran
Rupiah. Dengan memakai bibit sawit unggul, potensi penghasilan petani
sawit Riau bisa di atas Rp3,5 juta per hektare per panen,’’ kata
Muhibbul.
Sementara itu, Wakil Ketua KP3K (Komisi
Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kelautan) Riau Ir H A Kadir Hamid
tegas menyebutkan sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun di daerah
berkomitmen untuk pro-petani, dan harus segera diwujudkan dalam bentuk
program-program yang nyata. Salah satunya adalah subsidi atas harga
pokok produksi petani. ‘’Negara-negara maju saja mensubsidi petaninya.
Karena itu, kalau pemerintah ini punya political will pro-petani, maka
subsidi untuk petani adalah keharusan,’’ kata Kadir Hamid didampingi
Sekretaris Ir H Muharnes.
Kadir Hamid mencontohkan, negara maju
yang mensubsidi petaninya adalah Jepang yang mensubsidi 65 persen dari
harga produksi, Amerika Serikat mensubsidi 24 persen, Uni Eropa
mensubsidi sampai 49 persen. ‘’Bahkan di Korea Selatan, subsidi untuk
petani mencapai 74 persen. Sehingga rakyatnya mau mengelola lahan-lahan
pertanian dengan sungguh-sungguh, karena hasilnya sudah pasti bisa
menghidupi dan menyejahterakan,’’ kata mantan Kepala Kanwil Pertanian
Riau itu.
Kalau kebijakan subsidi ini berjalan
baik, tinggal memperluas tanah garapan untuk petani. Tanah garapan itu
masih sangat cukup di Indonesia karena berdasarkan data yang disampaikan
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) H Oesman Sapta usai
bertemu dengan Kepala BPN Pusat Hendarman Soepandji pertengahan Oktober
lalu, saat ini masih terdapat 4,8 juta hektare lahan terlantar yang bisa
digarap. ‘’HKTI mengusulkan kepada pemerintah agar petani dapat
menggarap lahan terlantar yang ada di Indonesia itu, sehingga selain
dapat meningkatkan pendapatan dan mengangkat kesejahteraan petani, juga
sekaligus dapat meningkatkan produksi pertanian Indonesia,’’ kata
Oesman.
Kajian HKTI, dengan pemberian lahan
garapan seluas 1 sampai 2 hektare untuk satu kepala keluarga petani di
Jawa dan 2 sampai 3 hektare untuk petani di luar Jawa, kesejahteraan
untuk petani di Indonesia diyakini dapat diwujudkan.
Itu berarti—kata kuncinya—cukup dua
strategi saja untuk meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia.
Pertama, komitmen pro-petani harus segera diwujudkan pemerintah dengan
subsidi harga pokok produksi yang memadai seperti di negara-negara maju.
Kedua, menyegerakan membagi-bagikan lahan terlantar untuk garapan
petani sebagaimana usul HKTI. Dengan subsidi dan ketercukupan lahan
garapan, maka tidak akan ada lagi petani di Indonesia yang miskin. Semua
petani bisa sejahtera. Bukan hanya petani yang bertanam sawit saja
se-perti di Riau yang bisa sejahtera, melainkan semua petani, apapun
yang ditanamnya; padi, jagung, kedelai, coklat, semuanya.., akan membawa
kesejahteraan bagi mereka, petani Indonesia. Buktikanlah.***
by:ikaputrirahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar