Rabu, 25 Juni 2014

Teknologi Peningkatan Fruit Set dengan introduksi serangga penyerbuk



Produksi kelapa sawit ditentukan antara lain oleh sukses tidaknya penyerbukan. Penyerbukan pada tanaman kelapa sawit memerlukan agen, karena meskipun kelapa sawit berumah satu (monocious) namun bunga‑bunga pada bulir (spikelet) jantan dan betina mekar pada waktu yang berlainan sehingga selalu terjadi penyerbukan antar tumbuhan atau penyerbukan silang (Lubis, 1992). Pada penyerbukan silang dengan agen serangga, metabolit sekunder tumbuhan dalam bentuk senyawa volatil memegang peranan pada komunikasi antara serangga dengan tumbuhan, misalnya dengan mengenali bau tertentu maka serangga bisa memastikan keberadaan tanaman yang diinginkan (Pineda, 2004; Real, 1983).
Serangga penyerbuk kelapa sawit yang sudah lama ada di Indonesia antara lain Thrips hawaiensis (Waterhouse dan Norris, 1987). Serangga sangat kecil ini masih dianggap kurang aktif karena tidak secara sempurna dapat menyerbuki seluruh bunga betina sampai kepangkal tandan yang terjepit pelepah dan lapisan bunga yang berada di bagian dalam. Oleh karena itu muncul ide ’penyerbukan’ buatan yang dilakukan oleh manusia yang disebut assisted pollination, walaupun kemudian dirasakan kurang efektif dan tidak ekonomis.
Salah satu hasil spektakuler dari penelitian di bidang perkebunan kelapa sawit adalah pemanfaatan serangga penyerbuk kelapa sawit (Elaeidobius kamerunicus) (Syed, 1980). Sejak diintroduksikan tahun 1982 dari Afrika Barat, E. kamerunicus telah menggantikan penyerbukan buatan oleh manusia yang membutuhkan biaya sangat besar dan tidak efektif dan efisien (Eardley et al., 2006). Hampir semua perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Jawa dan Kalimantan telah dihuni oleh kumbang E. kamerunicus yang dilepas secara langsung maupun datang dengan sendirinya (Sipayung dan Lubis, 1987). Akibat introduksi SPKS E. kamerunicus, terjadi banyak kenaikan komponen-komponen produksi kecuali jumlah tandan dan rendemen minyak yakni meningkatkan berat tandan, nilai fruit set dan CPO/ha dan inti (Donough dan Law, 1987; Lubis, 1987).
Adanya E. kamerunicus sangat signifikan dalam meningkatkan nilai fruit set tandan kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena serangga penyerbuk ini mampu menjangkau buah bagian dalam sehingga proses penyerbukan bunga pada tandan sebelah dalam dapat terjadi. Nilai fruit set yang baik pada tanaman kelapa sawit adalah di atas 75% (Susanto et al., 2007), dan untuk dapat mencapai nilai tersebut diperlukan jumlah E. kamerunicus sekitar 20.000 ekor/ha. Namun demikian, keefektifan penyerbukan bunga juga sangat dipengaruhi oleh produksi bunga jantan kelapa sawit. Angka sex ratio (perbandingan jumlah bunga jantan dan bunga betina kelapa sawit) ini penting diketahui untuk perhitungan bunga dalam estimasi produksi, polinasi bantuan, pelepasan serangga penyerbuk dan lain-lain.
Pada saat ini, di Indonesia, praktek assisted pollination tidak dilakukan lagi secara komersil, karena adanya serangga penyerbuk kelapa sawit E. kamerunicus. Namun, akhir-akhir ini beberapa perkebunan kelapa sawit di Indonesia melaporkan penurunan produksi tandan buah bahkan tidak terjadi penyerbukan pada tandan bunga betina. Salah satu faktor yang dicurigai menjadi penyebabnya adalah penurunan populasi E. kamerunicus di lapangan.
Penelitian mengenai biologi kumbang E. kamerunicus masih sangat sedikit. Penelitian yang sangat menyeluruh hanya dilaksanakan antara tahun 1978‑1980 di Kamerun oleh Syed (1982) yang mempelajari perkembangan E kamerunicus dari telur menjadi larva, kemudian kepompong, dan akhimya menjadi imago. Di Indonesia yang memiliki kondisi iklim yang relatif berbeda akhir-akhir ini, bila penelitian ini dilakukan kembali akan menjadi kajian yang sangat menarik untuk memperoleh informasi mengenai bioekologi serangga penyerbuk tersebut.
Di Indonesia, penelitian mengenai E. kamerunicus berlangsung mulai 1983 – 1987. Setelah itu, E. kamerunicus kurang diperhatikan karena keberadaannya dianggap telah baik bagi produktivitas kelapa sawit di lapangan. Akhir-akhir ini, karena banyaknya ditemukan penurunan produksi kelapa sawit di beberapa perkebunan besar, penelitian mengenai E. kamerunicus akan menjadi prioritas penting. Penelitian ini akan banyak mengkaji tentang sistem peningkatan populasi E. kamerunicus di lapangan, biologi, ekologi maupun perilaku serangga tersebut saat ini di lapangan sehingga diharapkan dapat menjadi acuan dalam upaya peningkatan produktivitas kelapa sawit yang optimal. Seperti kata Mayfield (1999), praktek managemen yang baik menjadi peran kunci dalam menyediakan biodiversitas serangga penyerbuk yang menyediakan pelayanan ’gratis’.
Kemungkinan, apabila berbagai penelitian di masa lalu dimunculkan kembali, maka akan menghasilkan berbagai kesimpulan baru terutama keterkaitan E. kamerunicus terhadap berbagai faktor pembatas perkembangan yakni iklim, adanya serangan tikus, penggunaan pestisida maupun penggunaan material tanam kelapa sawit. Menurut Syed dan Saleh (1987), perkembangan populasi kumbang E. kamerunicus dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: 1. Iklim terutama curah hujan, 2. Predator terutama tikus dan 3. Banyak bunga jantan yang mekar.
Beberapa hasil penelitian di masa lalu adalah sebagai berikut:
  1. Adanya serangan tikus menimbulkan dua dampak negatif yakni kerusakan buah dan mengganggu perkembangbiakan E. kamerunicus. Dari hasil analisa Sipayung et al. (1987),isi lambung tikus sebelum periode E. kamerunicus dijumpai banyak adanya berbagai macam jenis serangga dan binatang kecil. Diantara yang dominan adalah cocopet Chelisoches morris, siput Parmorian pupillaris dan semut angrang Ocophylla smaragdina. Setelah periode SPKS, larva dan kepompong E. kamerunicus menduduki tempat kedua terbesar setelah cocopet. Tikus menyukai larva dan kepompong E. kamerunicus sebagai sumber protein tambahan. Menurut Hutauruk et al. (1985), dengan pertambahan sumber protein ini kemungkinan tikus akan bertambah sehat sehingga mampu hidup lebih lama serta natalitinya akan meningkat.
  2. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilaksanakan di laboratorium dan di lapangan oleh Hutauruk et al. (1985) diketahui bahwa pada umumnya semua jenis insektisida yang sudah biasa digunakan untuk pengendalian ulat api (Limacodidae) dan ulat kantong (Psychidae) melalui penyemprotan atau injeksi batang, beracun terhadap E. kamerunicus. Apabila penyemprotan dilakukan pada mahkota daun, maka pengaruh sampingan insektisida yang digunakan hanya kecil. Satu sampai tiga hari setelah perlakuan, E. kamerunicus sudah kembali pada bunga kelapa sawit. Apabila larutan insektisida disemprotkan langsung pada bunga, maka pengaruhnya sangat besar. E. kamerunicus tidak dijumpai pada 1 – 3 hari setelah penyemprotan. Penelitian ini menggunakan berbagai pestisida yang sekarang telah banyak dilarang. Bagaimana dengan penggunaan jenis pestisida (dengan bahan aktif yang berbeda) yang sekarang, apakah sama? Terlebih lagi kajian penggunaan herbisida di piringan terhadap populasi E. kamerunicus pada TM muda juga menjadi objek yang menarik untuk diteliti.
  3. Di Afrika Barat selain E. kamerunicus ditemukan juga serangga penyerbuk lain, misalnya E. subvittatus, E. plagiatus dan E. singularis serta masih banyak lagi famili serangga lain yang datang ke bunga kelapa sawit (Syed, 1980; Hutauruk dan Syukur, 1985). Keempat Elaeidobius itu keberadaannya sudah stabil dan saling mendukung, meskipun dominasinya berbeda tergantung cuaca, letak geografis dan tingkat kemekaran bunga. E. kamerunicus lebih dominan di daerah dengan curah hujan tinggi (> 3.500 mm/tahun) pada daerah dataran rendah. Di daerah dataran tinggi (> 1.000 m dpl) E. subvittatus merupakan serangga yang dominan dan menandai bahwa spesies ini memiliki daya jelajah yang lebih kuat. Penelitian belum rinci mengenai pengaruh beberapa bulan kering terhadap populasi kumbang E. kamerunicus maupun suhu dan kelembaban udara yang mendukung perkembangan yang baik bagi serangga ini. Ke depan, bila memang memungkinkan, impor serangga penyerbuk yang baru seperti E. subvittatus mungkin menjadi solusi yang sangat penting.
  4. Dewasa ini banyak laporan dari berbagai perkebunan besar, bahwa adanya perbedaan material tanam kelapa sawit mengakibatkan populasi E. kamerunicus yang berbeda juga khususnya pada TM muda. Purba et al. (2008) menyatakan bahwa ada kemungkinan masing-masing material tanam tersebut mengeluarkan kairomon untuk menarik SPKS dalam tingkat yang berbeda. Isolasi dan sintesis senyawa ini diharapkan dapat menjadi salah satu upaya peningkatan populasinya di lapangan.
Upaya meningkatkan populasi SPKS di perkebunan kelapa sawit jelas merupakan keharusan jika produktivitas kelapa sawit masih rendah terkait dengan masih rendahnya densitas SPKS. Lubis dan Sipayung (1987) menyatakan bahwa pada tahun 1987, Indonesia yang saat itu memiliki luas tanaman yang berumur 3 – 6 tahun adalah sekitar 80.000 ha. Peniadaan kegiatan assisted pollination telah dapat menghemat biaya sekitar Rp. 72.000/ha setiap tahun atau Rp. 5,76 Milyar untuk tahun 1987. Jumlah ini dihitung dengan kebutuhan tenaga kerja polinasi yakni sekitar 2.160.000 HK per tahun atau sekitar 7.200 HK per hari. Ini berarti 1 HK hanya dihargai sekitar Rp. 960,-. Nah, bagaimana dengan kondisi sekarang? Jika 1 HK sama dengan Rp. 30.000,- maka dengan luasan 80.000 ha tersebut telah terselamatkan Rp. 180 Milyar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar