Rabu, 25 Juni 2014

INI ADALAH PERMASALAHAN YANG BIASA DI TEMUKAN DI LAPANGAN





Munculnya Gulma Lunak diarea Terbuka




Buah Kastrasi ( buah yang wajib di buang )





 Buah yang layak panen dikastrasi





Clen weeding ( areal bersih)









PT ASA TENERA PRIMA
Jalan Melati Indah, Komplek Villa Melati Permai Blok B-1
Pekanbaru 28292, Riau - Indonesia
Telp. (0761) 7708464,  Fax  (0761) 564798
E-mail : asatenera_prima@yahoo.co.id





































Jakarta

Pengusaha minyak sawit atau crude palm oil (CPO) optimistis tahun 2014 pertumbuhan industri sawit akan cerah. Salah satu pemicunya adalah dengan adanya mandatori mengenai pengembangan biofuel (biodiesel) atau bahan bakar nabati yang bahan bakunya dari kelapa sawit.

Tahun 2014 produksi sawit akan meningkat sementara permintaan dunia belum sepenuhnya pulih dan normal. Inilah mengapa kebijakan beberapa negara terutama Indonesia dan Malaysia yang akan meningkatkan konsumsi biofuel dalam negeri akan menjadi faktor yang menentukan perkembangan kelapa sawit di tahun 2014.

Dalam siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut, Indonesia diperkirakan bakal menambah pasokan konsumsi CPO sebesar 3,3 juta ton untuk produksi biofuel. Agar kebijakan ini dapat berjalan dengan baik maka diperlukan insentif dan regulasi yang kondusif.

GAPKI meyakini prospek industri kelapa sawit nasional pada tahun ini cukup menjanjikan. Harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan produk turunannya di pasar internasional diprediksi mampu menembus US$ 1.100 per ton. Hal itu berpotensi mendongkrak ekspor CPO hingga ke level US$ 24,2 miliar.

"Kenaikan harga dipicu berkurangnya suplai global, salah satunya akibat kebijakan Indonesia dalam meningkatkan konsumsi CPO untuk biodiesel di dalam negeri. Mandatori biodiesel di sejumlah negara juga turut berpotensi mendongkrak kenaikan harga CPO," tulis siaran pers itu, Kamis (27/2/2014).

Berdasarkan data GAPKI, produksi CPO dan Palm Kernel Oil (PKO) tahun 2013 mencapai 26 juta ton atau naik 1,9% dibanding 2012 sebanyak 26,5 juta ton. Sedangkan produksi 2014 diperkirakan ada di kisaran 27,5-28 juta ton.

Usaha peningkatan produksi kelapa sawit hingga saat ini terus dilakukan, baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi. Usaha intensifikasi dilakukan dengan berbagai penelitian genetik bahan tanaman dan kultur teknis

→ Sejarah Singkat Penyebaran Kelapa Sawit ke Indonesia

Sejarah Singkat Penyebaran Kelapa Sawit ke Indonesia

pohon kelapa sawit
Tanaman kelapa sawit adalah sumber utama minyak nabati sesudah kelapa di Indonesia. Tanaman ini dikenal di dunia barat setelah orang Portugis berlayar ke Afrika tahun 1466. Dalam perjalanan ke Pantai Gading (Ghana), penduduk setempat terlihat menggunakan kelapa sawit untuk memasak maupun untuk bahan kecantikan. Pada tahun 1970 untuk yang pertama kali dikapalkan sejumlah biji kelapa sawit ke Inggris dan memasuki daratan benua Eropa tahun 1844. Beberapa tahun kemudian Eropa mengimport inti sawit.

Tahun 1848 tanaman kelapa sawit masuk ke Indonesia dan daerah-daerah lain di Asia sebagai tanaman hias. Ada 4 tanaman yang ditanam di Kebun Raya bogor (Botanical Garden) Bogor, dahulu bernama Buitenzorg, dua berasal dari Bourbon (Mauritius) dan dua lainnya dari Hortus Botanicus, Amsterdam (Belanda). Pada tahun 1853 keempat tanaman tersebut telah berbuah dan bijinya disebarkan secara gratis. Pada pengamatan tahun 1858, ternyata keempat tanaman tersebut tumbuh subur dan berbuah lebat. Walaupun berbeda waktu penanaman (asal Bourbon lebih dulu dua bulan), tanaman tersebut berbuah dalam waktu yang sama, mempunyai tipe yang sangat beragam, kemungkinan diperoleh dari sumber geneik yang sama (Rutgers, 1922).
pohon sawit
Kelapa Sawit
Kira-kira 10 tahun kemudian, diadakan uji coba penanaman kelapa sawit pertama di Indonesia yang dilakukan di karesidenan Banyumas 14 acre dan di karisidenan Palembang 3 acre (Sumatera Selatan). hasil uji coba tersebut menunjukkan bahwa tanaman kelapa telah berbuah paa tahun keempat setelah ditanam dengan tinggi batang 1,5 m, sedangkan di negeri asalnya baru berbuah pada tahun keenam atau ketujuh. Selanjutnya uji coba dilakukan di Muara Enim tahun 1869, Musi Ulu 1870 dan Biliton 1890 (Van Heurn, 1948) tetapi tidak begitu baik pertumbuhannya. Hal ini baru disadari kemudian, bahwa iklim daerah Palembang kurang sesuai untuk pertumbuan kelapa sawit. Kemudian dikembangkan ke Sumatera Utara, ternyata sungguh baik. Keunggulan kelapa sawit Sumatera Utara sudah dikenal sejak sebelum perang dunia ke II dengan varietas Dura Deli (bahasa Inggirs: Deli Dura) yakni tanaman kelapa sawit yang ditanam di Tanah Deli (Medan dan sekitarnya).
Selam 40 – 50 tahun sesudah tanaman kelapa sawit masuk ke Indonesia hanya digunakan sebagai tanaman hias, barulah pada tahun 1911 diperkebunkan di Sumatera Utara, hanya 9,1% di Lampung dan 4,1 % di Aceh (Daswir dan Panjaitan, 1981). Sekarang ini sudah tersebar luas di berbagai propinsi lain termasuk di P. Jawa melalui proyek PIR atau perluasan usaha Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) ataupun Perseoran Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) yang kebanyakan berpusat di Sumatera Utara, dan Riau serta pembukaan lahan baru oleh perusahaan asing maupun swasta nasional.
Pada awal tahun 80-an, tanaman kelapa sawit digelari sebagai komoditi primadona karena memberi keuntungan yang melimpah. Dengan adanya “boom” ini, perluasan areal dapat terealisasi dengan kemajuan yang pesat. Kalau sebelum perang dunia ke II, Sumatera Utara danAceh adalah penghasil munyak kelapa sawit terbesar di dunia, tetapi setelah perang, Malaysia adalah penghasil minyak sawit yang utama. Ini berkat kemajuan Malaysia mengelola perkebuna sawit secara efisien dan didukung oleh penelitian dan pengembangan teknologi yang mantap.
About these ads

JASA PENAWARAN

Dengan Hormat,
Sebelumnya kami ucapkan terima kasih kepada bapak/ibu yang telah menerima dan meluangkan waktu untuk membaca blog penawaran ini sehingga Bapak/Ibu dapat mempertimbangkan Jasa yang kami tawarakan.
Kami dari PT Asa Tenera Prima (ATP) sebagai salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa konsultasi perkebunan yang mengutamakan layanan dan solusi terbaik bagi calon pelanggan ataupun costumer kami. Perusahaan ini berdiri pada tahun 2012, di bawah asuhan  Alm, Ir Ida Bagus Mayun Widarsana M.Si yang sudah di kenal oleh sebagai kalangan yang bergerak dibidang perkebunan kelapa sawit Indonesia.
Sejauh ini kami telah menangani  lebih dari kurang 50 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang lokasinya tersebar di seluruh indonesia,baik di wilayah sumatera,kalimantan maupun sulawesi dan telah terbukti  produksi TBS ton/Ha dan CPO/Ha mengalami peningkatan semenjak kita tangani,,
      Adapun layanan jasa yang kami tawarkan :
- Jasa Konsultasi lapangan pembuatan Rekomendasi pemupukan tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM)  dan belum mengahasilkan (TBM)
- Jasa pebaikan Kultur Teknis
- Jasa pengendalian Hama dan penyakit

Besar harapan kami untuk dapat menjalin kerjasama dengan perusahaan yang bapak / ibu pimpin. demikian info blog penawaran ini kami sampaikan , kami menunggu kabar baik dari Bapak/ibu . Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih,

Hormat Kami,
PT Asa Tenera Prima


Krisnaningsih
Direktur utama




NB: apabila ada yang berminat dengan jasa yang kami tawarkan
        silahkan hubungi kami :
        PT Asa Tenera Prima
        Nama : Ika Putri rahayu
        Hp/tlpon : 0852-6538-8038 atau (0761)- 7724111
       email : asateneraprima@gmail.com


SEJARAH KELAPA SAWIT DI INDONESIA

SEJARAH KELAPA SAWIT DI INDONESIA - kelapa sawit ri lampung timur
SEJARAH TENTANG KELAPA SAWIT DI INDONESIA

Saat ini, kelapa sawit sangat penting peranannya bagi perekonomian Indonesia. Sebagai komoditas strategis dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri dan penghasil devisa terbesar diluar migas. Sungguhpun tanaman ini sangat cocok tumbuh dan berkembang di hampir seluruh wilayah Indonesia, tapi kelapa sawit bukanlah tanaman asli berasal dari Indonesia. Tanaman ini baru ditanam secara komersial sekitar tahun 1911.

Meskipun demikian, perkataan sawit sudah ada sejak lama. Beberapa tempat atau desa di Jawa sudah ada yang menggunakan nama “sawit” sebelum kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848, ketika itu ditanam di Kebun Raya Bogor. Dalam bahasa Jawa Kawi “sawit” artinya sidhakep (kalung). Nama lain dalam bahasa Jawa adalah kelapa sewu dan dalam bahasa sunda sering disebut sebagai salak minyak atau kelapa ciung.

Kebun kelapa sawit pertama dibuka pada tahun 1911 di Tanah Itam Ulu oleh Maskapai Oliepalmen Cultuur dan di Pulau Raja oleh Maskapai Huilleries de Sumatera-RCMA, Sumatera Utara. Kemudian oleh Seumadam Cultuur Mij, Sungai Liput Cultuur Mij, Mapoli, Tanjung Genteng oleh Palmbomen Cultuur Mij, Madang Ara Cultuur Mij, Deli Muda oleh Huilleries de Deli, dan lain-lain. Semua perkebunan tersebut berlokasi di Sumatera Utara. Sampai tahun 1915, luas arealnya baru mencapai 2.715 ha yang ditanam bersamaan dengan kultura lainnya seperti kopi, karet, kelapa dan tembakau.

Pada tahun 1916 sudah ada 16 perusahaan di Sumatera Utara dan 3 perusahaan di Jawa. Kemudian pada tahun 1920, sudah ada sebanyak 25 perusahaan yang menanam kelapa sawit di Sumatera Timur, 8 di Aceh dan 1 di Sumatera Selatan yaitu Taba Pingin dekat Lubuk Linggau. Sampai tahun 1939 telah tercatat sekitar 66 perkebunan dengan luas areal sekitar 100.000 ha. Maskapai utama yang tercatat adalah HVA, RCMA, Socfindo, Asahan Cultuur Mij, LCB Mayang, Deli Mij dan Sungai Liput Cultuur Mij.

Masa penjajahan Jepang merupakan masa suram bagi perkemabangan perkebunan di Indonesia, dimana ekspor terhenti. Dan banyak kebun kelapa sawit diganti dengan tanaman pangan dan pabrik-pabrik tidak berjalan. Pada tahun 1947 kebun-kebun tersebut dikembalikan kepada pemiliknya semula. Setelah diinventarisir hanya 47 kebun saja yang dapat dibangun kembali dari 66 kebun sebelumnya. Beberapa kebun mengalami kehancuran total seperti Taba Pingin dan Oud Wassenar di Sumatera Selatan.Ophir di Sumatera Barat, Karang Inou di Aceh dan beberapa kebun di Riau.

Karena berbagai gangguan keamanan dan pergolakan politik waktu itu, maka upaya merehabilitasi oleh pemiliknya tidak banyak membawa hasil. Hal ini terlihat dari luas areal yang tidak bertambah. Sampai tahun 1957, luas areal kelapa sawit hanya 103.000 ha dengan produksi 160.000 ton minyak sawit. Berarti produktivitas per ha yang sangat rendah, hanya 1,9 ton, padahal sebelum perang, produktivitas sudah mencapai 3 ton.

Periode 1957 s/d 1968 merupakan era baru dalam perkembangan usha perkebunan. Dalam periode ini terjadi beberapa kejadian penting antara lain, 1) ambil alih atau nasionalisasi perusahaan perkebunan Belanda oleh pemerintah pada 10 Desember 1957. Hal ini dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.229/UM/1957. Kemudian diikuti ambil alih perusahaan milik pengusaha Inggris, Perancis, Belgia, Amerika, dll. Namun kemudian dikembalikan lagi pada tanggal 19 Desember 1967. 2) Reorganisasi perusahaan perkebunan negara (PNP/PTP) yaitu pada tahun 1957 – 1960 dengan pembentukan PPN Baru disamping PPN Lama yang sudah ada sebelumnya. Keduanya digabung pada tahun 1961-1962. Selanjutnya dibentuk organisasi baru berdasarkan komoditas seperti karet, aneka tanaman, tembakau, gula, dan serat. Hal ini berjalan sejak tahun 1963 sampai dengan 1968.

Masa ini adalah masa sulit, karena kultur teknis dan manajemen perkebunan kurang terkendali sebagai akibat suramnya perekonomian nasional dan pergolakan politik. Dan dengan pulihnya masalah keamanan dan politik setelah penumpasan G-30-S PKI serta munculnya kembali semangat membangun dari para pelaksana di lapangan (planters) banyak mengundan perhatian investor asing seperti Bank Dunia, ADB dan lain-lain untuk membantu pembangunan dan pengembangan kebun.

Program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang dimulai tahun 1968 telah banyak membawa kemajuan. Pembukaan areal baru diluar areal tradisionil (Sumut, Aceh da Lampung) terus terjadi. Upaya pengembangan perkebunan besar swasta yang banyak terlantar terus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Dengan menyediakan fasilitas kredit dari Bank, mulai dilancarkan Program Pengembangan Perkebunan Besar Swasta Nasional Tahap I tahun 1977-1981 (PBSN I). PBSN II mulai 1981 s.d 1986 dan PBSN III mulai 1986 s.d 1989. Program ini berjalan cukup baik, disamping diversifikasi pengolahan (industri hilir) juga berkembang, sehingga bukan saja CPO yang dihasilkan tetapi juga produk lainnya seperti RBD Olein, Crude Stearin, Fatty Acid, dll.

Sementara itu, masyarakat tani mendapat kesempatan untuk mengelola perkebunan kelapa sawit melalui program Perusahaan Inti Rakyat (PIR-Bun). Dalam sistim PIR, perusahaan perkebunan besar sebagai inti ditugaskan untuk membangun dan memasarkan hasil kebun petani plasma. Sedangkan petani plasma harus mengelola kebunnya dengan baik dan memasarkan hasilnya melalui perusahaan inti.

Melihat perkembangan dan prospek kelapa sawit yang menjanjikan, saat ini usaha perkebunan kelapa sawit banyak diminati oleh investor. Masyarakat, terutama disekitar lokasi perkebunan, dengan swadaya ...
African Oil Palm (Elaeis guineensis)
Kelapa sawit berbentuk pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Akar serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi.
Seperti jenis palma lainnya, daunnya tersusun majemuk menyirip. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa.
Bunga jantan dan betina terpisah namun berada pada satu pohon (monoecious diclin) dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga betina terlihat lebih besar dan mekar.
Tanaman sawit dengan tipe cangkang pisifera bersifat female steril sehingga sangat jarang menghasilkan tandan buah dan dalam produksi benih unggul digunakan sebagai tetua jantan.
Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah bergerombol dalam tandan yang muncul dari tiap pelapah. Minyak dihasilkan oleh buah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah. Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas (FFA, free fatty acid) akan meningkat dan buah akan rontok dengan sendirinya.
Buah terdiri dari tiga lapisan:
  • Eksoskarp, bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin.
  • Mesoskarp, serabut buah
  • Endoskarp, cangkang pelindung inti
Inti sawit (kernel, yang sebetul]]nya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi.
Kelapa sawit berkembang biak dengan cara generatif. Buah sawit matang pada kondisi tertentu embrionya akan berkecambah menghasilkan tunas (plumula) dan bakal akar (radikula).

Syarat hidup

Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil, 2000-2500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan memengaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit.

Tipe kelapa sawit

Kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua jenis: E. guineensis dan E. oleifera. Jenis pertama yang terluas dibudidayakan orang. dari kedua species kelapa sawit ini memiliki keunggulan masing-masing. E. guineensis memiliki produksi yang sangat tinggi dan E. oleifera memiliki tinggi tanaman yang rendah. banyak orang sedang menyilangkan kedua species ini untuk mendapatkan species yang tinggi produksi dan gampang dipanen. E. oleifera sekarang mulai dibudidayakan pula untuk menambah keanekaragaman sumber daya genetik.
Penangkar seringkali melihat tipe kelapa sawit berdasarkan ketebalan cangkang, yang terdiri dari
  • Dura,
  • Pisifera, dan
  • Tenera.
Dura merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-besar dan kandungan minyak per tandannya berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak memiliki cangkang, sehingga tidak memiliki inti (kernel) yang menghasilkan minyak ekonomis dan bunga betinanya steril sehingga sangat jarang menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan jantan Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap fertil. Beberapa tenera unggul memiliki persentase daging per buahnya mencapai 90% dan kandungan minyak per tandannya dapat mencapai 28%.
Untuk pembibitan massal, sekarang digunakan teknik kultur jaringan.

Hasil tanaman

Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku minyak goreng, margarin, sabun, kosmetika, industri baja, kawat, radio, kulit dan industri farmasi. Minyak sawit dapat digunakan untuk begitu beragam peruntukannya karena keunggulan sifat yang dimilikinya yaitu tahan oksidasi dengan tekanan tinggi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya, mempunyai daya melapis yang tinggi dan tidak menimbulkan iritasi pada tubuh dalam bidang kosmetik.[1]
Bagian yang paling populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng dan berbagai jenis turunannya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin.
Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak. Buahnya kecil, bila masak berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak. Ampas yang disebut bungkil inti sawit itu digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.
Buah diproses dengan membuat lunak bagian daging buah dengan temperatur 90 °C. Daging yang telah melunak dipaksa untuk berpisah dengan bagian inti dan cangkang dengan pressing pada mesin silinder berlubang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan pemanasan dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah lumpur.
Sisa pengolahan buah sawit sangat potensial menjadi bahan campuran makanan ternak dan difermentasikan menjadi kompos.

Sejarah perkebunan kelapa sawit

Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura".
Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1910.
Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940.[2]
Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak berhasil meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaya (lalu Malaysia).
Baru semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif.
Beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam di Kebun Botani Bogor hingga sekarang masih hidup, dengan ketinggian sekitar 12m, dan merupakan kelapa sawit tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika.

Hama dan penyakit

Faktor yang dapat menyebabkan penurunan hasil produksi pada tanaman kelapa sawit diantaranya hama dan penyakit. Serangan hama utama ulat pemakan daun kelapa sawit, yakni ulat api (Lepidoptera: Limacodidae) dan ulat kantung (Lepidoptera: Psychidae). [3] Potensi kehilangan hasil yang disebabkan kedua hama ini dapat mencapai 35%. [4] Jenis ulat api yang paling banyak ditemukan di lapangan adalah Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima, Darna diducta dan Darna bradleyi. [5] Selain hama, penyakit juga menimbulkan masalah pada pertanaman kelapa sawit. Penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh infeksi cendawan Ganoderma boninense merupakan penyakit penting yang menyerang kebun-kebun kelapa sawit. Cendawan G. boninense merupakan patogen tular tanah yang merupakan parasitik fakultatif dengan kisaran inang yang luas dan mempunyai kemampuan saprofitik yang tinggi. [6]

Manfaat minyak sawit

Selain manfaat utama minyak sawit sebagai minyak makan, minyak sawit juga dapat digunakan sebagai pengganti lemak susu dalam pembuatan susu kental manis dan tepung susu skim [7]

Teknologi Peningkatan Fruit Set dengan introduksi serangga penyerbuk



Produksi kelapa sawit ditentukan antara lain oleh sukses tidaknya penyerbukan. Penyerbukan pada tanaman kelapa sawit memerlukan agen, karena meskipun kelapa sawit berumah satu (monocious) namun bunga‑bunga pada bulir (spikelet) jantan dan betina mekar pada waktu yang berlainan sehingga selalu terjadi penyerbukan antar tumbuhan atau penyerbukan silang (Lubis, 1992). Pada penyerbukan silang dengan agen serangga, metabolit sekunder tumbuhan dalam bentuk senyawa volatil memegang peranan pada komunikasi antara serangga dengan tumbuhan, misalnya dengan mengenali bau tertentu maka serangga bisa memastikan keberadaan tanaman yang diinginkan (Pineda, 2004; Real, 1983).
Serangga penyerbuk kelapa sawit yang sudah lama ada di Indonesia antara lain Thrips hawaiensis (Waterhouse dan Norris, 1987). Serangga sangat kecil ini masih dianggap kurang aktif karena tidak secara sempurna dapat menyerbuki seluruh bunga betina sampai kepangkal tandan yang terjepit pelepah dan lapisan bunga yang berada di bagian dalam. Oleh karena itu muncul ide ’penyerbukan’ buatan yang dilakukan oleh manusia yang disebut assisted pollination, walaupun kemudian dirasakan kurang efektif dan tidak ekonomis.
Salah satu hasil spektakuler dari penelitian di bidang perkebunan kelapa sawit adalah pemanfaatan serangga penyerbuk kelapa sawit (Elaeidobius kamerunicus) (Syed, 1980). Sejak diintroduksikan tahun 1982 dari Afrika Barat, E. kamerunicus telah menggantikan penyerbukan buatan oleh manusia yang membutuhkan biaya sangat besar dan tidak efektif dan efisien (Eardley et al., 2006). Hampir semua perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Jawa dan Kalimantan telah dihuni oleh kumbang E. kamerunicus yang dilepas secara langsung maupun datang dengan sendirinya (Sipayung dan Lubis, 1987). Akibat introduksi SPKS E. kamerunicus, terjadi banyak kenaikan komponen-komponen produksi kecuali jumlah tandan dan rendemen minyak yakni meningkatkan berat tandan, nilai fruit set dan CPO/ha dan inti (Donough dan Law, 1987; Lubis, 1987).
Adanya E. kamerunicus sangat signifikan dalam meningkatkan nilai fruit set tandan kelapa sawit. Hal ini disebabkan karena serangga penyerbuk ini mampu menjangkau buah bagian dalam sehingga proses penyerbukan bunga pada tandan sebelah dalam dapat terjadi. Nilai fruit set yang baik pada tanaman kelapa sawit adalah di atas 75% (Susanto et al., 2007), dan untuk dapat mencapai nilai tersebut diperlukan jumlah E. kamerunicus sekitar 20.000 ekor/ha. Namun demikian, keefektifan penyerbukan bunga juga sangat dipengaruhi oleh produksi bunga jantan kelapa sawit. Angka sex ratio (perbandingan jumlah bunga jantan dan bunga betina kelapa sawit) ini penting diketahui untuk perhitungan bunga dalam estimasi produksi, polinasi bantuan, pelepasan serangga penyerbuk dan lain-lain.
Pada saat ini, di Indonesia, praktek assisted pollination tidak dilakukan lagi secara komersil, karena adanya serangga penyerbuk kelapa sawit E. kamerunicus. Namun, akhir-akhir ini beberapa perkebunan kelapa sawit di Indonesia melaporkan penurunan produksi tandan buah bahkan tidak terjadi penyerbukan pada tandan bunga betina. Salah satu faktor yang dicurigai menjadi penyebabnya adalah penurunan populasi E. kamerunicus di lapangan.
Penelitian mengenai biologi kumbang E. kamerunicus masih sangat sedikit. Penelitian yang sangat menyeluruh hanya dilaksanakan antara tahun 1978‑1980 di Kamerun oleh Syed (1982) yang mempelajari perkembangan E kamerunicus dari telur menjadi larva, kemudian kepompong, dan akhimya menjadi imago. Di Indonesia yang memiliki kondisi iklim yang relatif berbeda akhir-akhir ini, bila penelitian ini dilakukan kembali akan menjadi kajian yang sangat menarik untuk memperoleh informasi mengenai bioekologi serangga penyerbuk tersebut.
Di Indonesia, penelitian mengenai E. kamerunicus berlangsung mulai 1983 – 1987. Setelah itu, E. kamerunicus kurang diperhatikan karena keberadaannya dianggap telah baik bagi produktivitas kelapa sawit di lapangan. Akhir-akhir ini, karena banyaknya ditemukan penurunan produksi kelapa sawit di beberapa perkebunan besar, penelitian mengenai E. kamerunicus akan menjadi prioritas penting. Penelitian ini akan banyak mengkaji tentang sistem peningkatan populasi E. kamerunicus di lapangan, biologi, ekologi maupun perilaku serangga tersebut saat ini di lapangan sehingga diharapkan dapat menjadi acuan dalam upaya peningkatan produktivitas kelapa sawit yang optimal. Seperti kata Mayfield (1999), praktek managemen yang baik menjadi peran kunci dalam menyediakan biodiversitas serangga penyerbuk yang menyediakan pelayanan ’gratis’.
Kemungkinan, apabila berbagai penelitian di masa lalu dimunculkan kembali, maka akan menghasilkan berbagai kesimpulan baru terutama keterkaitan E. kamerunicus terhadap berbagai faktor pembatas perkembangan yakni iklim, adanya serangan tikus, penggunaan pestisida maupun penggunaan material tanam kelapa sawit. Menurut Syed dan Saleh (1987), perkembangan populasi kumbang E. kamerunicus dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: 1. Iklim terutama curah hujan, 2. Predator terutama tikus dan 3. Banyak bunga jantan yang mekar.
Beberapa hasil penelitian di masa lalu adalah sebagai berikut:
  1. Adanya serangan tikus menimbulkan dua dampak negatif yakni kerusakan buah dan mengganggu perkembangbiakan E. kamerunicus. Dari hasil analisa Sipayung et al. (1987),isi lambung tikus sebelum periode E. kamerunicus dijumpai banyak adanya berbagai macam jenis serangga dan binatang kecil. Diantara yang dominan adalah cocopet Chelisoches morris, siput Parmorian pupillaris dan semut angrang Ocophylla smaragdina. Setelah periode SPKS, larva dan kepompong E. kamerunicus menduduki tempat kedua terbesar setelah cocopet. Tikus menyukai larva dan kepompong E. kamerunicus sebagai sumber protein tambahan. Menurut Hutauruk et al. (1985), dengan pertambahan sumber protein ini kemungkinan tikus akan bertambah sehat sehingga mampu hidup lebih lama serta natalitinya akan meningkat.
  2. Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilaksanakan di laboratorium dan di lapangan oleh Hutauruk et al. (1985) diketahui bahwa pada umumnya semua jenis insektisida yang sudah biasa digunakan untuk pengendalian ulat api (Limacodidae) dan ulat kantong (Psychidae) melalui penyemprotan atau injeksi batang, beracun terhadap E. kamerunicus. Apabila penyemprotan dilakukan pada mahkota daun, maka pengaruh sampingan insektisida yang digunakan hanya kecil. Satu sampai tiga hari setelah perlakuan, E. kamerunicus sudah kembali pada bunga kelapa sawit. Apabila larutan insektisida disemprotkan langsung pada bunga, maka pengaruhnya sangat besar. E. kamerunicus tidak dijumpai pada 1 – 3 hari setelah penyemprotan. Penelitian ini menggunakan berbagai pestisida yang sekarang telah banyak dilarang. Bagaimana dengan penggunaan jenis pestisida (dengan bahan aktif yang berbeda) yang sekarang, apakah sama? Terlebih lagi kajian penggunaan herbisida di piringan terhadap populasi E. kamerunicus pada TM muda juga menjadi objek yang menarik untuk diteliti.
  3. Di Afrika Barat selain E. kamerunicus ditemukan juga serangga penyerbuk lain, misalnya E. subvittatus, E. plagiatus dan E. singularis serta masih banyak lagi famili serangga lain yang datang ke bunga kelapa sawit (Syed, 1980; Hutauruk dan Syukur, 1985). Keempat Elaeidobius itu keberadaannya sudah stabil dan saling mendukung, meskipun dominasinya berbeda tergantung cuaca, letak geografis dan tingkat kemekaran bunga. E. kamerunicus lebih dominan di daerah dengan curah hujan tinggi (> 3.500 mm/tahun) pada daerah dataran rendah. Di daerah dataran tinggi (> 1.000 m dpl) E. subvittatus merupakan serangga yang dominan dan menandai bahwa spesies ini memiliki daya jelajah yang lebih kuat. Penelitian belum rinci mengenai pengaruh beberapa bulan kering terhadap populasi kumbang E. kamerunicus maupun suhu dan kelembaban udara yang mendukung perkembangan yang baik bagi serangga ini. Ke depan, bila memang memungkinkan, impor serangga penyerbuk yang baru seperti E. subvittatus mungkin menjadi solusi yang sangat penting.
  4. Dewasa ini banyak laporan dari berbagai perkebunan besar, bahwa adanya perbedaan material tanam kelapa sawit mengakibatkan populasi E. kamerunicus yang berbeda juga khususnya pada TM muda. Purba et al. (2008) menyatakan bahwa ada kemungkinan masing-masing material tanam tersebut mengeluarkan kairomon untuk menarik SPKS dalam tingkat yang berbeda. Isolasi dan sintesis senyawa ini diharapkan dapat menjadi salah satu upaya peningkatan populasinya di lapangan.
Upaya meningkatkan populasi SPKS di perkebunan kelapa sawit jelas merupakan keharusan jika produktivitas kelapa sawit masih rendah terkait dengan masih rendahnya densitas SPKS. Lubis dan Sipayung (1987) menyatakan bahwa pada tahun 1987, Indonesia yang saat itu memiliki luas tanaman yang berumur 3 – 6 tahun adalah sekitar 80.000 ha. Peniadaan kegiatan assisted pollination telah dapat menghemat biaya sekitar Rp. 72.000/ha setiap tahun atau Rp. 5,76 Milyar untuk tahun 1987. Jumlah ini dihitung dengan kebutuhan tenaga kerja polinasi yakni sekitar 2.160.000 HK per tahun atau sekitar 7.200 HK per hari. Ini berarti 1 HK hanya dihargai sekitar Rp. 960,-. Nah, bagaimana dengan kondisi sekarang? Jika 1 HK sama dengan Rp. 30.000,- maka dengan luasan 80.000 ha tersebut telah terselamatkan Rp. 180 Milyar